Selasa, 27 Maret 2018

Menggali Akar Penyebab School Refusal pada Siswa

Menggali Akar Penyebab School Refusal pada Siswa

Daniel Yudha Kumoro
Guru BK SMKN 3 Buduran Sidoarjo

           Sering dijumpai oleh guru pengajar, wali kelas, maupun guru BK di sekolah, siswa yang sering tidak masuk tanpa keterangan. Buku absensi kelas menunjukkan tanda A (alpa) yang beruntun pada siswa tersebut. Tanpa disertai adanya surat sakit dari dokter maupun surat ijin dari orangtua.
           Jika sudah seperti ini biasanya guru mencari informasi tentang anak tersebut melalui teman-temannya, maupun langsung menghubungi orang tua dari siswa tersebut melaui telepon atau SMS.
           Guru pengajar, wali kelas, maupun guru BK biasanya mendapatkan variasi jawaban yang berbeda dari masing-masing orang tua siswa yang bersangkutan. Jikalau jawabannya dikarenakan sakit dan belum bisa kirim surat, masih dapat dimaklumi. Atau ada anggota keluarga jauh yang sedang mengalami kesusahan (kematian) juga masih dapat dimaklumi.
           Namun jika jawaban dari orang tua adalah bahwa anak tersebut tiap pagi berangkat ke sekolah dan sorenya juga pulang ke rumah tepat waktu, maka ini menjadi tanda tanya besar bagi guru. Kemana sebenarnya anak ini? Apalagi didapat informasi dari salah satu teman kelasnya bahwa ternyata anak tersebut terlihat ada di warnet, warkop, atau rental PS. Maka ini menjadi PR besar yang harus diselesaikan oleh guru dan orangtua secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
           Perilaku menghindari sekolah inilah yang disebut oleh Kearney (2001) sebagai school refusal/school phobia/school avoidance/truancy. School refusal/school phobia/school avoidance masih mengarah pada adanya tekanan emosi dan rasa cemas atau takut menghadapi sekolah. Sehingga ketika seorang anak meninggalkan sekolah, semakin ia merasa bersalah/tertekan. Sedangkan truancy sudah mengarah pada kenakalan remaja dan ketidak-tertarikan dengan kegiatan sekolah. Mereka lebih menyukai kegiatan di jalanan dan tidak memiliki rasa bersalah/tertekan meninggalkan sekolah (Ampuni & Andayani, 2006).
           Menurut Kearney (2001), tingkah laku school refusal dapat berupa satu atau gabungan dari karakteristik di bawah ini:
a.              Absen dari sekolah, menolak pergi ke sekolah, tidak mau pergi ke sekolah
b.             Hadir di sekolah tapi kemudian meninggalkannya sebelum jam sekolah
           usai
c.              Hadir di sekolah tapi menunjukkan tingkah laku yang tidak diharapkan,
dari tingkah laku menyendiri, tidak ingin pisah dari figure attachment-nya,
agresif, tidak kooperatif sampai temper-tantrum
d.             Berpura-pura sakit agar tidak pergi kesekolah
e.              Ia pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di sekolah
berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing, ke toilet, berkeringat
dingin).

           Menurut Ampuni & Andayani (2006) penyebab school refusal cukup bervariasi. Salah satunya adalah kecemasan berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Salah satu studi Last & Strauss (dalam Davison, John & Ann, 2006) menemukan bahwa 75% anak-anak yang menolak untuk sekolah disebabkan oleh kecemasan berpisah dari ibu atau orang yang terdekat dengannya.
           School refusal juga dapat terjadi karena pengalaman negatif di sekolah, seperti mendapat cemoohan, ejekan ataupun diganggu teman-temannya atau anak merasa malu karena tidak cantik, gendut, kurus, hitam atau takut gagal dan mendapat nilai buruk. Menurut Rini (dalam Manurung, 2012) penyebab lainnya adalah karena adanya masalah dalam keluarga, seperti sakitnya salah satu anggota keluarga, adanya pertengkaran antara orang tua. Salah satu tingkah laku school refusal yang dapat dilihat, biasanya anak terlihat murung ketika waktu sekolah tiba, tidak bersemangat, atau malah mengeluh sakit ketika waktu pergi sekolah tiba.
           Fremont dan Hogan (dalam Ampuni & Andayani, 2006 ) mengemukakan bahwa terjadinya school refusal pada anak telah ditemukan berhubungan dengan berbagai pola interaksi yang kurang sehat di dalam keluarga, misalnya adanya ketergantungan yang berlebihan antar anggota keluarga, masalah komunikasi serta masalah pembagian peran dalam keluarga.
           Berangkat dari pendapat beberapa ahli inilah, penulis sebagai guru BK yang sering menemui permasalahan ini di sekolah, mencoba menyusun sebuah form checklist untuk menggali akar penyebab school refusal pada siswa yang mengalami masalah tersebut. Lihat Tabel 1.

PEDOMAN WAWANCARA SCHOOL REFUSAL

Nama Siswa: _______________________     Usia: ____________________ (L/P)
Sekolah: ___________________________     Kelas: _______________________

Petunjuk Guru:
Sebelum melakukan wawancara, jalin kedekatan dengan siswa untuk memberikan rasa nyaman. Sehingga siswa tidak merasa diinterogasi seperti seorang terdakwa kriminal. Karena pada dasarnya siswa dengan school refusal sudah merasa bersalah/tertekan semenjak ia meninggalkan sekolah.
Tanyakan pertanyaan-pertanyaan tertutup berikut satu per satu. Bila jawabannya adalah “Ya”, maka lanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka guna  menggali akar permasalahan yang sebenarnya. Selamat mencoba!

I.         Separation Anxiety
1.    Apakah siswa merindukan ayahnya waktu di sekolah? ______________
2.    Apakah siswa merindukan ibunya waktu di sekolah? _______________
3.    Apakah siswa merindukan mainan/peliharaannya di rumah? _________
4.    Apakah siswa merasa cemas karena tantangan sekolah? _____________
5.    Apakah siswa mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan di sekolah? __________________________________________________
6.    Apakah siswa mendapati ayah dan ibunya bertengkar di rumah? ______

II.      Pengalaman Negatif di Sekolah
7.    Apakah siswa diejek teman waktu di sekolah? _____________________
8.    Apakah siswa diancam teman waktu di sekolah? ___________________
9.    Apakah siswa ditakut-takuti teman waktu di sekolah? _______________
10. Apakah siswa merasa gurunya galak? ___________________________
11. Apakah siswa dimarahi gurunya?_______________________________
12. Apakah pelajarannya sulit? ____________________________________
13. Apakah kendaraannya tidak nyaman? ___________________________
14. Apakah perjalanannya ke sekolah melelahkan? ____________________
15. Adakah cerita seram di sekolah? _______________________________
16. Apakah siswa takut menyeberang jalan? _________________________
17. Apakah siswa (takut) bertemu seseorang yang menyeramkan di jalan? _
18. Apakah siswa (takut) diperas oleh anak nakal? ____________________
19. Apakah siswa takut di jalan yang sepi? __________________________
20. Apakah orangtuanya menganggap hal-hal diatas tidak penting? _______

III.   Problem dalam Keluarga
21. Apakah orangtuanya bertengkar? _______________________________
22. Apakah siswa bersedih dan ingin melindungi orangtuanya? __________

IV.     Skoring
Jumlah Jawaban “Ya” dan kategori School Refusal
0-3:      Sangat Ringan
4-7:      Ringan
8-11:    Sedang
12-15: Berat
16-22: Sangat Berat
Tabel 1. Pedoman Wawancara School Refusal


Jika dari wawancara tersebut didapati temuan-temuan yang mengarah pada penyebab-penyebab dari school refusal, maka guru BK, wali kelas, atau guru pengajar dapat mengundang orang tua ke sekolah untuk mendiskusikan akan hal ini. Bisa saja didapati temuan-temuan baru dari orang tua mengenai kondisi yang sebenarnya siswa selama berada di rumah. Sehingga semakin dalam data yang digali, semakin mendekatkan guru BK, wali kelas, guru pengajar, dan orang tua kepada pengentasan masalah school refusal pada siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar