Minggu, 28 Juni 2020

Berbuat Baik pada Tetangga

Malam senin. Seperti biasanya. Piring kotor. Sendok. Panci. Serta alat makan dan alat dapur lainnya sudah menunggu di kitchen sink.


Seperti biasanya pula aku yang bagian mencucinya. Karena istri sudah bagian memasak.


Sambil mencuci aku mendengarkan pengajian live streaming youtube ustadz heri di channel ashiltv.

Channel yang belum lama aku subscribe mengingat kajian²nya yang konsisten. Termasuk dalam memberikan materi² dengan tema harta haram kontemporer (tentang muamalah, hutang, riba dan sebagainya).


Kembali ke kitchen sink. Eaaa... Belum lama aku mencoba menuntaskan mencuci piring. Tiba² terdengar bunyi dentuman yang keras di tembok rumah kami. Arahnya dari sebelah barat.

Saking kerasnya, ada gragal² kecil yang berjatuhan dari sudat atas plafon dapur rumah kami.

Duh. Rumah kami yang atap²nya seakan² mau rubuh. Ditambah dengan dentuman keras suara orang memaku tembok rumahnya berulang² kali, jujur, membuat rasa takut membersit di dada kami.

Apalagi putra kami yang sedang murojaah tiba² berteriak seperti merasa terganggu.

Duhai. Apakah tetangga kami sedang marah kepada kami? Apakah karena bunyi pompa air kami? Apakah karena bunyi gawai kami yang memperdengarkan suara kajian? Atau suara anak kami yang sedang murojaah mengganggunya?

Jujur. Untuk tetangga yang sebelah ini, kami pernah menegurnya karena sesuatu hal. Namun ia berkilah membalikkan teguran itu pada kami. Bahwa kamipun pernah punya salah dengan dia.

Semenjak saat itu. Kami tak pernah menegurnya. Kami berlatih bersabar terus. Bila kami ceritakan daftar kesalahannya, sungguh kurang elok dibaca. Tapi yang sangat kami ingat adalah bila terjadi apa² dengan rumah kami atau ketenangan kami karena ulahnya, kami hanya mencoba diam. Memakluminya. Berusaha keras mencarikan udzur padanya. Hingga kami merasa ada udzur yang belum kami ketahui padanya (HR. Baihaqi).

Namun di saat kami dirasa melakukan kesalahan. Tak segan² mereka masuk rumah kami tanpa salam tanpa permisi untuk menggugat kesalahan kami. Atau sekedar mencari tahu apa yang kami lakukan di rumah sehingga berdampak pada rumahnya.

Pernah ada kejadian. Mereka tiba² masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar mandi kami yang terletak paling belakang rumah. Lantas menuduh.

"Bu. Kamar mandi ibu bocor. Meresap di tembok kamar rumah saya!"

Istriku dengan santai menanggapi, "Apa ibu tidak tahu bila tadi malam hujan deras? Apa ibu bisa melihat, kalau plafon rumah kami juga basah karena luberan air hujan yang tak sanggup lagi ditampung oleh talang?"

Jawabnya juga santai sambil tersipu malu.

"Oh, iya ya?"

Lalu pergi tanpa permisi.

Duhai Dzat yang Merajai Manusia, berilah petunjuk padanya.

Seandainya di rumah saat itu aku dalam kondisi telanjang bulat bagaimana ya? Apakah akan dikomplain juga ketelanjangan saya di dalam rumah saya sendiri?


Suatu hari. Tetanggaku memplester tembok depan rumahnya. Semennya bisa berjatuhan tak tentu arah hingga mengenai kendaraanku. Saat aku mencoba mengingatkannya. Tiba² ia membawaku ke dalam rumahnya. Ia menarik paksa tanganku. Memperlihatkan bahwa salah satu tembok rumahnya berlubang karena tembok rumah kami.


Astaga. Seandainya saja kami mau dan mampu melayaninya untuk berdebat. Bahwa kami masih menyimpan foto kami di depan rumah kami yang merupakah rumah perdana yang terbangun di gang ini. Semuanya masih tanah. Rumah kami sudah jadi duluan di tahun 2011. Saat itu PLN dan PDAM belum masuk.

Jadi kalau dibilang pembangunan rumah kami mengganggu kondisi rumahnya. Apa tidak terbalik ini? Debat keras kami padanya tapi dalam hati  (HR. Abu Dawud).


Semenjak saat itu kami sudah merasa malas berhubungan dengan tetangga.


Tapi semua berubah semenjak bulan puasa tahun ini. Kami mencoba untuk membalas perbuatan buruk dengan perbuatan baik (QS. Fussilat 34).

Kami membelikan kerupuk untuk tetangga kiri kanan dan depan. Beberapa hari kemudian kami memberikan keripik untuk buka puasa. Lalu roti tawar yang kami buat sendiri. Lantas bligo.

InsyaAllah kami lakukan semua itu hanya untuk mendapatkan ridho Allah. Bukan untuk mendapat pujian atau balasan dari orang.

Meski kami tahu. Mungkin pemberian kami dibuang. Tidak dimakan. Diberikan pada orang lain. Atau apalah itu. Sebenarnya kami sedang memberi di jalan Allah. Bukan memberi pada tetangga (HR. Bukhari).


Kami juga sedang belajar diam. Bagaimana supaya lisan kami jangan sampai mengganggu tetangga kami (HR. Ahmad).


Ah, rasanya masih banyak yang harus kami pelajari lagi bagaimana mengasihi sesama muslim.



Semoga Allah selalu memberi petunjuk.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar