Minggu, 28 Juni 2020

Kucingku Korban Ketidaklihaianku

Akhir-akhir ini, Momo, bekas kucing persiaku yang berwarna abu² putih sering datang ke rumahku. Tiap pagi dan sore. Setelah aku beri makan ikan pindang. Seolah² ia mengerti lalu pergi begitu saja tanpa permisi. Kembali ke rumahnya.

Lho? Maksudnya?


Jadi begini. Aku pernah memiliki kucing persia berwarna abu² putih. Dimana kami peroleh di tahun 2015 dari teman kami di Surabaya. Saat itu umurnya sudah setahun. Tapi badannya sudah besar sekali. Itulah pengalamanku pertama memegang kucing persia yang besar dan lincah.

(Kalau sekarang aku milihatnya mungkin aku akan menangis karena badannya tambah kurus. Umurnya sudah 6 tahun)


Sebelumnya aku berniat memberi nama Infus. Mengingat saat mengadopsi kucing ini. Anakku baru saja pulang dari RSUD Sidoarjo karena harus dirawat di Tulip selama sepekan lebih dengan indikasi ISK (Infeksi Saluran Kencing).

Hampir tiap bulan lho anakku sakit panas. Malam² ke UGD. Jawaban dokter selalu cuma satu. NGAMAR!

Kalau nggak vertigo. Ya infeksi saluran napas. Kalau nggak ya infeksi saluran pencernaan. Dan sebagainya. Dan kami baru tahu penyebabnya setelah sekian lama kami mencari. RIBA! InsyaAllah itu.

Ada sedikit cerita lain sebelum aku kembali cerita kucing. 

Kami sempat terlibat beberapa hutang kredit dengan akad riba. Namun kami akui jujur. Bahwa kami berhutang untuk memenuhi kebutuhan keseharian kami. Bukan untuk membeli barang² mewah.

Alhamdulillah. Setelah bertobat. Berjanji tidak akan lagi mau terlibat hutang riba. Tidak hanya anak. Istripun makin sehat² saja. 

Beda lagi kalau yang sakit itu aku. Pasti ada hikmah lain. Bukan riba. Justru sebaliknya. Datang rezeki. Setiap kali aku sakit. InsyaAllah itu artinya aku akan mendapatkan 'rezeki'. Khusus yang ini akan aku ceritakan sebuah rahasia. Tapi lain waktu saja. Di tulisan yang lain. Hehehe.


Kembali ke kucing ya. Maap maap ya.

Istri tidak suka nama Infus. Ia lebih suka nama kucing kami Momo.

Momo sungguh lincah. Berlari ke sana ke mari. Naik meja dan naik kursi. Bahkan minum dari bak mandi.

Dia juga ramah kepada siapa saja yang membelainya.

Kalau kami pergi. Momo kami taruh kandang. Kami sediakan biskuit satu mangkuk. Minuman. Serta bak pasir untuk pup.


Seiring berjalannya waktu. Saat anak dan istriku sering sakit dan harus dirawat di rumah sakit (itu dulu. Betapa mudahnya mencari kamar untuk dirawat dengan BPJS. Namun semenjak RSUD Sda direnovasi awal tahun 2018. Pasien membeludak. Sulit untuk mendapatkan kamar. Harus menunggu bebeberapa jam)

Aku harus bolak² pulang. Untuk membawa pulang baju kotor. Membawa baju bersih. Serta mengganti pasirnya Momo. Lalu memberi biskuit dan air.

Kejadian ini berulang tiap hari. Tiap bulan. Bahkan tiap tahun. 

Pernah suatu ketika aku tidak dapat menyempatkan diri untuk pulang. Karena istri tidak bisa ditinggal. Kasihan bila anakku yang masih kelas 2 SD itu harus merawat uminya sendirian di rumah sakit.

Setelah agak baikan. Aku membelikan sarapan pagi untuk anak dan istriku. Lalu aku ijin untuk ke kantor sebentar. Untuk sekedar ijin dan memberi kabar pada rekan sejawat. Lantas segera memacu kendaraan karena kucing di rumah sudah kelaparan.

Saat sampai rumah betul juga dugaanku. Kotorannya di pasir sudah penuh. Makan dan minumnya sudah habis. Ia mengeong² dengan kerasnya. Apakah karena lapar sebab semalam aku tidak pulang memberi makan. Ataukah ia rindu dengan tuannya.

Oleh karena itu. Siang itu aku mengambil keputusan yang belum pernah aku buat sebelumnya. Dimana keputusan ini. Setelah bebeberapa waktu tahu haditsnya. Bahwa yang aku lakukan adalah sudah benar.

Aku akan membebaskan momo dari kandangya (HR. Bukhari).

Mengingat malam ini mungkin aku masih belum bisa balik rumah untuk memberi makan kembali pada momo.


Ya sudah. Bismillah. Momo sudah besar. Aku lepaskan saja. Demi kebaikan di kedua belah pihak. Kucing dan tuannya.


Istri dan anak telah pulih. Namun kucing kami menjadi kucing liar. Bagaimana seekor persia bisa memangsa tikus jalanan. Tupai. Ikan. Kodok. Kepiting. Ular. Kecoak. Cicak. Bahkan ia ngajak berkelahi kucing² kampung jantan yang berusaha lewat di depan rumah kami. Teritorinya.

Lama² ia keranjingan bertarung seperti super sanya son go ku dalam komik dragonball.

Kalau sudah bertarung sulit sekali untuk dipisahkan . Meski sampai nyemplung got. Kucing musuh terus dikejar.

Tapi ya gitu. Ketika pulang. Momo seperti seorang anak berandalan yang habis ikut tawuran. Telinganya robek sebelah kiri. Rambut di atas kepalanya pitak. Sekitar mata kanannya seperti bekas tersayat pedang. Layaknya seorang yakuza atau bajak laut yang matanya memiliki bekas luka sayatan pedang. Kadang bibirnya juga berdarah.

Kaki²nya kotor. Bahkan ada bagian di tubuhnya yang kalau dipegang ia merasa kesakitan.


Itulah masa² kejayaan momo kucingku.

Namun sesuatu terjadi di bulan syawal di tahun 2019. Inilah titik balik bagi kami untuk mulai melepaskan total kucing kami.


Suatu hari. Tetangga sebelah kami memiliki bisnis las²an besi dan mesin. Betapa bisingnya, kata istriku. Tiap aku pulang. Istri selalu mengeluh tidak bisa istirahat karena bunyi dentuman pukulan gada besi beradu dengan besi. Suara plat besi dipotong dengan gerenda. Bau asap las menyambung besi.

Baiklah kami hargai saja mata pencaharian tetangga kami. Toh sore pukul 17.00 sudah berakhir.


Namun yang diharapkan jauh dari kenyataan.

Kini giliran tetangga depan kami yang membuat bising. Dari maghrib hingga tengah malam hari. Bunyi grenda bolak balik terdengar memotong besi.

Kami masih berusaha sabar.

Keesokan harinya hal yang sama berulang. Pagi sampai sore istri harus sabar dengar suara grenda dari tetangga sebelah kiri. Sore hingga malamya kami harus bersabar dengan suara grenda dari tetangga depan.

Waktu malam terus berjalan. Hingga pukul 22.00 suara grenda masih terdengar jelas.

Anak istri mengeluh tidak bisa tidur.

Hingga pukuln24.00 kami tertidur. Suara itu sayub² tidak terdengar lagi. Mungkin kami mulai lelah.. lantas terlelap.


Hingga hari ketiga masih berjalan seperti sebelumnya. Istri sudah tidak sabar. Kasihan anak tidak bisa tidur. Maka istri meminta padaku untuk menegur tetangga depan tersebut.


Maka tepat pukul 21.00. Aku keluar rumah dan mulai menegurnya. Inilah titik balik dalam hal bertetangga bagi kami harusnya kami lebih bersabar atau menggunakan cara yang lebih lihai.


Aku menegurnya dengan baik.

"Pak. Saya minta tolong. Kalau kerja jangan sampai malam² ya. Karena kami butuh istirahat. Bahkan bapak tahu sendiri ramadhan ini saya kena jantung. Pagi sampai sore tetangga kiri bunyi grenda. Sekarang sore sampai malam tetangga depan yang bunyi grenda. Minta tolong ya pak"


Ah, seperti aku memukul air. Terciprat muka sendiri. Dengan tenangnya dia membalas.

"Baik pak. Saya tidak akan membuat bising lagi. Tapi saya juga minta tolong ke bapak. TOLONG KUCING BAPAK ITU DIKUNCI DI DALAM KANDANG DI DALAM RUMAH SAJA. KARENA KUCING BAPAK PERNAH MAKAN BURUNG SAYA. MAKAN IKAN SAYA"


Mak jleb. Kaget mendengar balasan tersebut.


Lantas ia menjabat tangan saya dan masuk ke dalam rumah.

Aku juga masuk ke dalam rumah. Yang penting sudah aku sampaikan keluhan kami.

Meski dari dalam kamar kami masih mendengar bunyi grendanya lagi. Lalu anak laki²nya menggeber² gas motornya. Membleyer di depan rumah tanda marah pada kami.


Ya sudahlah. Minimal suara bising itu sudah tak terdengar di pukul 22.00.

(Yaa Allah, ada perasaan menyesal aku menuliskan ini semua. Karena aku seperti kembali ke masa setahun yang lalu. Dadaku agak hangat. Karena sedikit mulai ikut terbakar kembali. Esmosi. Hehehe)


Keesokannya masih saja terdengar suara grenda. Namun terdengar dilakukan di belakang atau di dalam rumahnya.


Subhanallah. Satu lagi aku kurang lihai dalam menyelesaikan konflik dengan orang lain. Ketidakmampuan mengolah komunikasi. Atau membalas keburukan dengan kebaikan terlebih dahulu (QS. Fussilat: 34).


Semenjak peristiwa ini aku memutuskan untuk membuka layanan adopsi kucingku, momo.

Satu orang jamaah kajian tertarik untuk mengadopsi momo. Sudah susah payah  dan jauh² membawanya ke lokasi biasa kami kajian. Ternyata besoknya dikembalikan karena ia merasa tidak cocok.

Sedangkan kucing satunya yang bernama kampung sudah diadopsi oleh salah seorang ustadznya anakku yang orangnya rada sedikit 'unik' menurutku.


Aku juga sudah mempromosikan momo di berbagai wa grup. Namun hasilnya nihil. Hanya berbalas komen sana komen sini. Tak berarti. Tak bersolusi.


Akhirnya aku menawarkan di tetangga seberang gang. Tak dinyana orangnya mau. Bahkan siap membelinya. Tapi aku jelaskan kalau kita tidak jual beli kucing (HR. Muslim)

Kebetulan putra putrinya suka kucing. Meski awalnya agak takut karena momo berbadan besar.

Setelah diambil dengan motornya. Momo resmi menjadi milik tetangga seberang gangku. Momo kucingnya ramah dan penurut. Ketika dibawa dengan digendong di atas jok motor ia tidak berontak sama sekali.


Orang yang paling terpukul oleh kepergian momo adalah istri. Saat setuju untuk diadopsi orang. Istri melelehkan air matanya.

Kami tak bisa berbuat apa² ini demi kebaikan kehidupan bertetangga kami.

Kami telah mengorbankan hewan kesayangan kami yang telah membersamai kami selama empat tahun. Inilah yang menjadi alasan kenapa aku tidak setuju saat istri memutuskan pertama kali mengadopsi momo di tahun 2015 untuk menjadi hewan peliharaan.

Aku ungkapkan kalau aku sudah berhenti pelihara hewan semenjak aku sering kehilangannya. Mati. Sakitnya tuh di hati.


Beberapa hari tanpa momo. Rasanya sepi. Hanya memori yang hadir di ingatan kami tentang momo. Ada rasa sakit hati terhadap seseorang yang telah membuat kami harus mengorbankan hewan kesayangan kami.

Ya sudahlah. Biar waktu yang menyembuhkan luka hati kami.


Tak disangka² suatu malam. Momo kembali pulang ke rumah. Kami terkejut sekaligus rindu.

Momo tampak berbeda. Tampak lebih gemuk. Tampak lebih bersih bulu putihnya. Agak wangi. Tentunya memiliki kalung baru dengan lonceng di lehernya.

Kami melepas rindu dengan memberinya makan ikan pindang. Sisa biskuit kesukaannya. Serta minum dari bak kamar mandi favoritnya.


Tak berapa lama. Kami wa pemilik barunya. Kalau momo pulang kembali ke rumah kami.

Bagaimana nggak pulang. Wong jarak ke tetangga seberang gang tidak lebih dari satu kilometer saja. Pantas saja pulang. Wong dia bekas kucing liar. Mau dijadikan kucing rumahan lagi. Dengan umur yang tak lagi muda. Ia mungkin sudah hapal seluk beluk perumahan saat mencari kucing pejantan kampung untuk diajak adu fisik.


Ia dijemput kembali oleh putra dan putri tetangga kami dengan motor. Lagi² ia menurut tak berontak.

Kejadian ini berulang lagi hingga kini. Hampir setahun. Setiap ia mampir ke majikan lamanya. Ia langsung kembali pulang ke tuannya yang baru. Tiap selesai aku kasih ikan dan biskuit. Ia pergi.

Seakan² ia mengerti. Bahwa ia sudah tidak belong here. Ia melangkah keluar tanpa permisi. Namanya juga kucing.


Akhir² ini ketika ia mampir ke rumah. Badannya terlihat kurus. Bulunya kusut. Kakinya luka dan kotor.

"Oh, Momo. Apa majikan barumu tidak memberi makan? Tidak merawatmu. Atau mungkin takut kalau engkau menjadi media penyebaran dan penularan covid-19 antar gang? Mengingat engkau tidak bermasker? Tidak bisa cuci tangan sendiri dengan sabun?"


Meskipun ada hal² yang lucu. Tapi sering kali kalau melihat momo datang ke rumah, mataku jadi basah. Tapi anak istriku tak tahu. Melihat keadaan momo sekarang. Serta melihat semua hal yang telah kami lewati bersama di masa lalu.

Telah menjadi kisah yang dapat aku ceritakan.

Sekarang. Juga nanti...







Tidak ada komentar:

Posting Komentar